Wednesday, December 22, 2010

hari ibu, hari untuk ibuku dan diri sendiri

beberapa waktu lalu, saya benar-benar dilanda kesedihan.Saya mengalami kesulitan dalam mendidik putri sulung karena masalah emosi yang kadang tidak stabil. Saya selalu teringat mendiang ibu saya, Mami, terhadap saya khususnya, yang saya selama menjadi anaknya sewaktu kecil tidak pernah merasakan dipukul, atau dibentak oleh dia. Dia selalu lebih banyak diam bila tidak suka, atau berbicara cukup hanya sekali.
Saya ingat, waktu itu , mungkin usia saya baru lima tahun, saya merengek meminta uang untuk jajan. Waktu itu ibu saya sambil membersihkan rumah berkata," Mami sedang nggak ada uang." Hanya itu, saya merengek dia diam, dan memberikan dompetnya yang kosong, tanpa membentak, meninggikan suara, tidak juga memukul.
Sering saya mengingat bagaimana Ibu saya mendidik saya selalu dengan lembut, diam bila tidak suka, dan berbicara cukup sekali bila saya nakal. Dan saya patuh karenanya.
Type temperamen turun dari sikap ayah saya yang terlampau disiplin, dan keras. Dampak itu sangat menyulitkan saya sekarang, karena cara didik seperti ayah saya sangat menyulitkan posisi saya untuk mencintai ayah, sulit mencintai ayah, tapi mudahmencintai Ibu, dan saya ingin seperti ibu saya..selalu dirindukan, dikenang.

Selalu dalam doa, saya memohon supaya Allah menjadikan aku bersikap lembut sebagai ibu seperti mamaku...
Selamat hari ibu , mamaku Lianawati, ibu yang lembut dalam mendidik, bertahan dalam masalah, tersenyum setiap waktu, dan dicintai sepanjang masa.

Sunday, December 19, 2010

membaca yang membuat tersenyum


Babi

Cerpen Romi Zarman Silakan Simak!
Dimuat di Koran Tempo Silakan Kunjungi Situsnya! 10/17/2010 Telah Disimak 403 kali

“Dasar babi!”

“Dasar babi?”

Saya tak mengerti: kenapa ucapan itu terdengar lirih. Bukankah ia hendak memaki saya? Kenapa ia tak berani lantang? Beberapa detik saya pikirkan. Ah, mungkin karena ia sudah terlalu lelah. Berjam-jam ia memeriksa saya. Sejak kemarin lusa, ini pemeriksaan kali kedua. Tapi sampai sekarang ia belum juga mendapatkan apa-apa.

Saya tatap ia, duduk menghadap ke arah saya di seberang meja. Sebagai seorang petugas, ia sudah menjalankan aturan sebagaimana mestinya. Lihatlah, tak seperti kebanyakan polisi lainnya, ia lepaskan seragamnya sewaktu memeriksa saya. Ia ganti dengan sebuah kemeja. Memang, sudah semestinya.

“Dasar babi? Apa maksud Bapak?”

Raut wajahnya berubah. Ia terlihat tegang dan mulai ketakutan.

Saya bisa saja melaporkan dia atas tuduhan penghinaan dalam pemeriksaan perkara. Atau setidak-tidaknya saya bikin laporan ke Propam, untuk pelanggaran kode etik. Akan tetapi, saya tak tega. Lihatlah raut wajahnya. Betapa lelahnya ia.

“Sungguh, saya tak bermaksud demikian.”

Ia coba meyakinkan saya.

“Empat jam saya diperiksa, tapi Bapak melecehkan saya. Tidakkah Bapak seharusnya bisa lebih sopan?”

“Ya, ya,” ia menjawab gugup, “maafkan saya. Tak ada maksud saya melecehkan Anda. Saya hanya sedikit lelah. Saya hanya butuh sedikit istirahat. Maafkan saya.”

Saya coba memahaminya. Ia belum mendapatkan keterangan yang berarti dari saya, tapi lelah sudah menyergap tubuhnya. Betapa kasihan ia.

“Jujur,” katanya, “saya tak ingin Anda melaporkan saya.”

“Bisakah Bapak ceritakan?”

“Tentu,” katanya. “Emosi saya sering lepas tak terkendali. Setiap ada terperiksa atau tersangka yang berbuat nakal, saya langsung jadi kesal. Mulanya hanya makian. Tapi karena terlalu sering, akhirnya jadi kebiasaan. Seperti tadi yang Anda dengar. Saya kesal. Saya belum juga mendapatkan keterangan kunci. Sedangkan lelah sudah menyergap tubuh saya. Akhirnya….”

“Anda keluarkan umpatan?”

“Ya! Tapi bukan makian.”

Saya mengerti. Selain karena ia belum juga mendapatkan keterangan yang berarti, sebenarnya ia juga kesal karena tak ada petugas pengganti.

“Saya harap Anda paham. Tak ada maksud saya melecehkan.”

“Baiklah,” kata saya. “Tapi bolehkah saya tahu kenapa Anda memilih ‘babi’ sebagai bahan umpatan? Tidakkah ada yang lainnya?”

“Ada,” katanya. “Tapi seperti yang saya katakan, hanya karena ia sudah menjadi kebiasaan. Makanya saya susah melepaskan diri darinya.”

“Kasihan,” kata saya.

“Kasihan?”

“Ya. Babi dijadikan bahan umpatan. Padahal tahukah Anda bahwa ia binatang yang paling teraniaya?”

“Maksud Anda?”

Betapa tololnya ia, tak mengerti maksud saya. “Baiklah. Saya jelaskan. Pernahkah Anda dengar tradisi berburu babi?”

“Tidak,” katanya.

“Tradisi itu ada di kampung saya. Setiap akhir pekan orang-orang datang membawa anjing peliharaan. Anjing-anjing itu mereka lepaskan.”

“Untuk apa?”

“Untuk memburu babi hutan.”

“Babi hutan?”

“Ya. Mereka berburu setiap Sabtu atau Minggu. Padahal di balik semua itu, tak lain dan tak bukan, adalah penganiayaan yang berkepanjangan.”

“Penganiayaan?”

“Ya,” jawab saya. “Mereka memburu babi hutan. Merobek-robek tubuhnya demi kesenangan. Tidakkah itu namanya penganiayaan?”

Ia diam, mungkin menunggu kelanjutan. “Memang,” kata saya, “bukan mereka yang maju ke depan. Tapi anjing-anjing peliharaan. Seperti yang saya sebutkan, para pemburu itu bukan hanya seorang atau dua orang. Tapi puluhan.”

“Puluhan?”

“Setiap kepala pasti membawa satu anjing peliharaan. Bayangkan, puluhan anjing memburu babi hutan. Dan babi hutan, bayangkan, mereka keroyok sendirian.”

“Pernahkah Anda menyaksikan?”

“Pernah. Tubuhnya bagai dicincang-cincang. Lagi pula si Tuan membawa parang dan senapan.”

“Senapan?”

Saya mengangguk pelan.

“Siapakah sebenarnya yang memburu babi hutan?” katanya. “Si Tuan, ataukah anjing-anjing peliharaan?”

“Tentu saja si Tuan. Tapi karena mereka tak punya banyak keberanian, akhirnya mereka gunakan anjing peliharaan.”

“Dan Anda? Pernahkah anda berburu?”

“Pernah,” kata saya. “Tapi seiring berjalannya waktu, semuanya menjadi terbalik. Sekarang justru saya yang diburu.”

“Diburu?” Kerutan di keningnya menandakan ketidakmengertian. “Kenapa bias? Bisakah Anda jelaskan?”

“Bisa,” kata saya. “Tapi kita harus kembali dulu ke materi pemeriksaan.”

“Maksud Anda?”

“Seperti yang Anda inginkan. Anda ingin mengorek keterangan kunci dari saya. Dan agar Anda tak bertanya-tanya, sebaiknya langsung saja saya utarakan.”

“Silakan!” katanya.

Saya lihat ia sungguh-sungguh mendengarkan.

“Begini,” kata saya, “saya tak tahu dalangnya siapa. Tapi tiba-tiba saya yang dituduh melakukannya. Anda tahu, sudah dua kali saya dijebloskan dengan pasal yang berbeda. Tapi saya selalu lolos dari jebakan mereka.”

“Jebakan mereka?”

“Mungkin.”

“Mungkin?” ia bertanya, seperti hendak menegaskan. “Ya, mungkin. Karena babi ketika berlari tak akan menoleh ke kiri atau kanan. Ia akan terus berjalan lurus ke depan. Tak peduli semak atau rimbun ilalang, ia akan tetap menerjang. Seperti itukah yang Anda maksudkan?”

“Memang,” kata saya.

Hendak saya lanjutkan ucapan. Tapi sebelum sempat hal itu saya lakukan, tiba-tiba saja saya lihat matanya mulai berbinar, dan ia kembali berkata, “Dasar babi!” ***

Padang, 3 Mei 2010